Posted by: Amanda Tiara Averousi | November 14, 2009

Menjadi Ibu

Bismillahirrahmanirrahiim..

Bagi kita adalah mimpi-mimpi yang dilatih dari kerinduan, cinta, dan asahan rasa. Seruak cinta itu adalah fitrah paling indah yang dikaruniakan Allah. Pengorbanan, perjuangan atas dasar cinta, adalah harga mati yang dimiliki setiap ibu.

Sebuah kata keharuan, sering muncul ketika orang lain menyebut namanya. Sebuah rasa kerinduan, sering muncul ketika teman kita bertanya keberadaan dirinya. Dan setiap rasa kecintaan, selalu muncul ketika otak dan hati kita menyebut jasadnya untuk mengingatkan kita akan dirinya, yang mempesona, yang menggetarkan hati, yang sering dijadikan alasan sederhana tentang keberadaan kita disini.

Ibu…
Panggilan yang menggetarkan hati, menghujam jiwa, membiruharu, menggemakan rasa terdalam di diri setiap wanita. Selalu dan senantiasa. Ada nuansa, cita, imaji, dan gairah setiap kali kata sederhana itu diteriakkan oleh sosok-sosok mungil yang selalu menyambut kehadiran.

Ibu..
Kata sederhana pendefinisi madrasah agung. Tempat setiap buah hati mempertanyakan semesta dengan bahasa yang paling akrab, harapan paling memuncak, dan keingintahuan paling dalam. Sebuah dermaga pengaduan yang palig luas saat mereka rasa teraniaya.

Belai paling menentramkan hati saat mereka gelisah. Dekapan paling memberi rasa aman saat mereka ketakutan. Ibu, perpustakaan paling lengkap, kelas paling nyaman, lapangan paling lapang, tak pernah ia bisa tergantikan oleh gedung-gedung tinggi tak bernyawa.

Ibu…
Panggilan yang paling meneguhkan status kemanusiaan dan kehormatan yang dikatakan oleh manusia berstatus kemanusiaan dan kehormatan tertinggi. Ibumu disebut tiga kali didepan olehnya, baru ayahmu menyusul kemudian. Begitulah Ia berkata, begitulah Rasulullah SAW. Bersabda.

Ia juga panggilan yang membawa makna perjuangan. Pegalnya membawa kandungan, susahnya posisi berbaring, dan sakitnya melahirkan. Tapi juga senyum manis di saat berdarah-darah mendengar tangis sang buah hati pecah.

Ibu…
Mungkin memang tak sesederhana itu. Karena posisi ibu adalah anugerah, yang keimanan pun bukan jaminan Allah pasti mengkaruniakannya pada kita. Persis sebagaimana ‘Aisyah, Hafshah, Zainab, dan lainnya.

Ya, tapi mereka kan Ummahatul mukminin, ibu dari semua orang beriman, kata kita. Pada posisi ini, memang. Tetapi mengandung, melahirkan, menyusui, menimang adalah bagian dari saat yang dinanti bersama hakikat kata Ibu..! itu, yang juga tak dirasai oleh ‘Aisyah sekalipun..

Ibu…
Seseorang yang ketika Ia merasa sangat lelah, lebih lelah dari mahkota abadi (sang suami) yang berada di atas kepalanya. Pun jauh lebih lelah dari setiap mutiara-mutiara mungil yang selalu dicintainya. Dirinya takkan terpaut memperhatikan kelelahan tiap-tiap anggota tubuhnya.

Pastilah Ia akan menyembunyikan segala tangis, keluhan, kesakitan, problematika diri, kegelisahan, kecemasan dan segala hal yang membuat dirinya lelah, demi sedikit terangkatnya tiap ujung-ujung bibir sang Imam keluarga dan sang darah daging untuk tersenyum manis, walaupun Ia sendiri mengetahui bahwa senyuman mereka takkan lebih manis daripada senyuman dirinya yang hanya sebagai hijab penghalang rasa lelahnya yang beliau sembunyikan dalam mihrab hati kepada mereka. Itu semua karena satu hal.

Mungkin memang Ia selalu merasa bahwa tubuh sang suami dan sang anak adalah tubuh dirinya juga. Maka dengan kecerdasan hatinya, Ia selalu berpikir bahwa dengan mengobati lelah mereka Ia anggap adalah sama dengan mengobati kelelahan dirinya sendiri. Dan dengan kasih sayang yang terpatri dalam hati, Ia lebih memilih cara yang mulia itu.

Ibu…
Lepas dari itu, sekali lagi, adalah menakjubkan setiap urusan orang mukmin. Persis seperti kata Rasulullah SAW., menakjubkan! Karena setiap halnya adalah kebaikan. Dan itu tidak terjadi kecuali bagi orang mukmin. Jika disinggahi nikmat, ia bersyukur, maka kesyukuran itu baik bagi dirinya. Jika ditamui musibah Ia bersabar, maka sabar itu baik bagi dirinya. Jika syukur dan sabar itu dua ekor tunggangan, kata ‘Umar, aku tak peduli harus mengendarai yang mana.

Menjadi ibu hakiki, yang melahirkan ataupun tidak, setelah ikhtiyar paling gigih, doa paling tulus, dan tawakkal paling terpasrah, adalah kemuliaan tanpa berkurang sepeserpun. Tidak setitik pun. Semuanya mulia.

Ibu…
Kita akan berjumpa dan meniti kemuliaan-kemuliaan beliau, mungkin di waktu lain, insya Allah. Sekadar agar bidadari cemburu padamu, dengan menjadi Ibu kau takkan tersaingi olehnya selama-lamanya. Ya, Ibu, melodi paling harmoni yang menggetarkan jagad dengan jihad agungnya.

Terinspirasi oleh kejadian berhikmah 10 september 2009 pukul 21.40, disaat tubuh bergetar untuk memenuhi panggilan ibunda, dan terpeluk mesra seraya butiran-butiran cinta yang jatuh dari pelupuk matanya ke bahuku membuat semangat baru yang lebih membara. Allahuakbar…!!

Ibu harapanmu kan kuusahakan tuk kupenuhi. Pengorbananmu kan kubalas meski kutahu tak mungkin untuk menyainginya walaupun hanya sekadar membuntuti. Ummi.. Ummi.. Ummi..

Pertama kali kau menyapaku
Tanpa suara
Tetapi sangat asih
Dari diriku yang paling dalam
Di sini
Ummi,
Aku disini

Banyak terinspirasi oleh :
Buku-buku Salim A Fillah
Teman-teman seperjuangan
dan Ummi tercinta..

-SUMBER : Hamba Allah-


Leave a comment

Categories